PENERIMAAN SOSIAL DALAM PROSES PENDIDIKAN INKLUSIF (STUDI KASUS PADA
PROSES PENDIDIKAN INKLUSIF DI SMK NEGERI 2 MALANG)
*Reza Dulisanti
Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya
Malang
![]() |
Abstrak: Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh munculnya model pendidikan inklusif. Pendidikan Inklusif
merupakan sebuah bentuk pendidikan yang menggabungkan antara siswa non
berkebutuhan khusus dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam satu lingkungan
sekolah yang sama. Keberadaan ABK dengan segala perbedaan yang mereka miliki,
memunculkan adanya suatu stigma negatif pada ABK. Stigma tersebut juga terbukti
dengan adanya bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh siswa non berkebutuhan
khusus. Dari adanya stigma yang diberikan siswa non berkebutuhan khusus kepada
ABK tersebut kemudian memunculkan suatu bentuk penerimaan sosial yang tidak
seutuhnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses
penerimaan sosial siswa non berkebutuhan khusus pada ABK dalam proses
pendidikan inklusif setelah munculnya stigma. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan teknik pengumpulan
data melalui observasi, dokumen, dan wawancara.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa stigma yang
diberikan kepada ABK adalah stigma menghambat, memiliki nilai jelek, serta
kurang bisa bergaul. Selain itu, juga terjadi diskriminasi yang dilakukan oleh
siswa non- berkebutuhan khusus yang tanpa mereka sadari hal itu adalah bentuk
soft- bullying.Meskipun terjadi stigma, namun pada dasarnya siswa non
berkebutuhan khusus menerima keberadaan ABK di lingkungan sekolahnya meskipun
tidak sepenuhnya. Hal tersebut terbukti dari adanya bentuk kepedulian seperti
membantu jika ABK mengalami kesulitan, serta meminjami catatan yang dimiliki
oleh siswa non berkebutuhan khusus kepada ABK meskipun telah terjadi
stigmatisasi.

I. PENDAHULUAN
Pendidikan menjadi salah satu aspek penting di dalam kehidupan
masyarakat. Melalui pendidikan juga, masyarakat meneruskan kebudayaannya kepada
generasi berikutnya melalui sebuah interaksi sosial, sehingga pendidikan mampu
menjadi salah satu bentuk sosialisasi (Nasution, 2011). Masalah- masalah yang
muncul di dunia pendidikan sering menjadi kendala di dalam pembangunan
Indonesia. Selain itu adanya kesenjangan di dalam dunia pendidikan menyebabkan
diskriminasi bagi para penyandang disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK). Sehingga kesempatan bersekolah bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
terhalang oleh akses itu sendiri.
Adanya sekolah luar biasa yang khusus menampung Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) justru menciptakan batasan bagi
Anak Berkebutuhan Khusus dengan anak non- kebutuhan khusus. Adanya sekolah luar
biasa justru menjadi suatu bentuk diskriminasi bagi Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) yang seharusnya mendapatkan bentuk pendidikan yang sama dengan anak non
berkebutuhan khusus. Model layanan pendidikan
inklusif pada dasarnya sudah dilaksanakan di Indonesia
dari mulai awal
tahun 2000-an, namun secara resmi payung hukum yang mengatur layanan sekolah
model inklusi adalah Permendiknas nomer 70 tahun 2009. Pendidikan inklusif pada
dasarnya merupakan suatu bentuk pendidikan yang menggabungkan antara Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan siswa non berkebutuhan khusus dalam suatu
sekolah dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi diskriminasi di dalam dunia
pendidikan.
Kota Malang merupakan kota yang
dicanangkan sebagai kota pendidikan Inklusif di Jawa Timur (Halomalang.com, 2012).
Pendidikan Inklusif yang ada di Kota Malang ada pada berbagai tingkat
pendidikan mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Sehingga tidak salah jika Kota Malang disebut sebagai kota pendidikan inklusif
menurut ketua pendidikan inklusif Dinas Pendidikan Kota Malang. Salah satu
sekolah di tingkatan menengah atas yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah SMK Negeri 2 Kota Malang. SMK
Negeri 2 Malang ditunjuk langsung oleh Dinas Pendidikan untuk menerapkan
pendidikan inklusif pertama di tingkat sekolah menengah atas. Hal tersebut
didasari bahwa di SMKN 2 Malang
telah memiliki kesiapan
untuk
menerima ABK, serta
terdapat jurusan Pekerjaan Sosial yang siswanya diharapkan bisa membantu
teman-teman ABK dalam kegiatan di
sekolah. Sehingga SMKN 2 Malang menjadi sekolah kejuruan pertama yang
menerapkan sistem inklusif sebagai bentuk pembelajaran di sekolah.
SMKN 2 Malang sendiri telah menerapkan pendidikan inklusif selama 4
tahun sejak tahun 2011 dan telah meluluskan 5 siswa berkebutuhan khusus. Jumlah
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang ada di SMKN 2 Malang ini awalnya hanya
menerima maksimal 5 ABK dalam setiap angkatan,
namun ternyata setelah pendidikan inklusif tersebut berjalan, minat dari
orangtua untuk menyekolahkan anak mereka yang berkebutuhan khusus semakin
bertambah sehingga kuota untuk penerimaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di
SMKN 2 Malang ditambah menjadi 10 ABK sejak tahun 2013. Hal tersebut juga
diimbangi dengan jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) yang juga bertambah
menjadi 5 orang.
Jurusan yang bisa diambil oleh ABK sendiri tentunya tergantung pada
kemampuan ABK itu sendiri, sehingga ABK yang mengalami kekurangan dalam masalah
kognitif mereka akan dimasukkan di jurusan Akomodasi Perhotelan, sedangkan yang
tidak mengalami masalah kognitif misalnya tuna rungu lebih diarahkan ke jurusan
Teknik Komputer Jaringan (TKJ). Tidak
ada kriteria khusus dalam penerimaan ABK
di SMKN 2 Malang ini, namun dalam proses
penerimaannya dilakukan observasi terhadap ABK yang mendaftar tersebut sehingga
pihak sekolah akan mengetahui kemampuan yang dimiliki ABK yang mendaftar tersebut.
Sejauh ini jenis kebutuhan khusus yang dimiliki oleh ABK di SMKN 2 Malang
seperti Autis, Tuna Grahita, Tuna Rungu, Slow
Learner, serta ada salah satu ABK ada yang memiliki gangguan perilaku.
Keberhasilan pendidikan inklusif tidak hanya dilihat dari aspek
pembelajarannya saja, namun juga dilihat dari dukungan lingkungan sekitar
misalnya guru dan teman sekolah. Ketika ada ABK dengan segala perbedaan yang
mereka miliki kemudian berada di lingkungan sekolah yang sama dengan siswa non
berkebutuhan khusus, tentunya hal
tersebut akan memunculkan reaksi dari siswa non berkebutuhan khusus itu
sendiri. Sehingga peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penerimaan sosial
yang diberikan oleh siswa
non
berkebutuhan khusus kepada siswa berkebutuhan khusus setelah adanya suatu
stigma negatif yang diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Menurut Erving Goffman, masyarakat dianggap sebagai rutinitas
hubungan sosial yang mengantisipasi
atribut di luar “natural”. Goffman tertarik untuk melihat bagaimana suatu Virtual Social Identity (Identitas Sosial Maya) yang merupakan
suatu identitas seharusnya, dengan suatu Actual
Identity (Identitas Sosial Aktual) atau identitas sebenarnya. Adanya
perbedaan dalam identitas sosial maya dan identitas aktual maka akan terbentuk suatu
stigma. Stigma muncul dari adanya kesenjangan atau perbedaan antara identitas
sosial maya dan identitas actual atau sebenarnya.
Adanya perbedaan antara virtual
social identity dengan actual social
identity juga menyebabkan seseorang diantisipasi secara sosial. Stigma
berasal dari istilah yang merujuk pada suatu tanda-tanda tubuh yang
memperlihatkan sesuatu yang dianggap tidak biasa. Sehingga, stigma merupakan
suatu hubungan akibat adanya suatu atribut atau ciri khas (Goffman, 1963).
Stigma melihat suatu interaksi yang terjadi di antara orang-orang yang
mendapatkan stigma dengan orang-orang yang dianggap normal. Goffman sendiri
menyebutkan adanya 3 tipe stigma yang diberikan kepada seseorang, yairu :
·
Abomination
of the body , yaitu stigma yang berhubungan dengan kecacatan pada tubuh
seseorang (cacat fisik)
·
Blemishes
of individual character, yaitu stigma yang berhubungan dengan
kerusakan-kerusakan karakter individu, missal
homosexuality.
·
Tribal
stigma , yaitu stigma yang diberikan atas dasar kesukuan, ras, bangsa,
dan agama.
Dari beberapa tipe stigma tersebut, kemudian stigma dibagi menjadi dua
kategori, ada stigma yang discredited (didiskreditkan),
stigma ini terjadi karena suatu perbedaan yang terlihat oleh audience atau orang yang dianggap
normal. Contoh dari stigma ini misalnya stigma yang terbentuk pada orang-orang difable, dimana “kekurangan” mereka
memang terlihat oleh audience, sehingga
terbentuklah suatu
stigma yang
didiskreditkan. Yang kedua yaitu stigma discreditable
(yang dapat didiskreditkan), artinya bahwa stigma tersebut akan muncul
ketika ada perbedaan yang mungkin bisa diketahui oleh audience namun tidak
bersifat fisik, misalnya tentang perbedaan orientasi seks, atau agama.
Penerimaan Sosial
Penerimaan sosial menjadi salah satu hal yang penting terutama bagi
pertumbuhan remaja. Tanpa adanya penerimaan dari teman sebaya, lawan jenis atau
sesame jenis, maka akan menimbulkan gangguan psikis dan sosial yang
bersangkutan. Menurut Grinder (1978) untuk mencapai kebahagiaan seseprang
memerlukan afeksi, keberhasilan dan penerimaan sosial. Penerimaan Sosial
diartikan sebagai perhatian positif dari orang lain (Sinthia, 2011). Sedangkan
menurut Hurlock 1998 menyebutkan bahwa penerimaan sosial berarti dipilih sebagai
teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok di mana seseorang menajdi anggota.
Penerimaan sosial menunjukkan suatu keberhasilan seorang anak untuk berperan di
dalam kelompoknya dan bekerja atau bermain dengannya (Ervika, 2011).
Pendidikan Inklusif
Definisi pendidikan inklusif sendiri memiliki artian yang sangat
beragam karena pendidikan inklusif tentunya juga mengalami suatu perkembangan.
Mengacu pada Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 bahwa pengertian pendidikan
inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Tujuan dari pendidikan inklusif
itu sendiri adalah :
1.
memberikan kesempatan bagi seluruh peserta didik
yang memiliki kelainan fisik, emosional, dan mental untuk memperoleh pendidikan
sesuai kebutuhan mereka.
2.
pendidikan inklusif juga sebagai bentuk pendidikan
yang bertujuan untuk menghargai
keanekaragaman serta mengurangi diskriminasi bagi seluruh peserta didik.
Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah “Anak Berkebutuhan Khusus”
juga muncul bukan untuk sekedar
menggantikan pengertian dari anak cacat atau luar biasa, namun memiliki
pengertian yang lebih positif yaitu anak dengan keberagaman yang berbeda
(Sunanto, 2009). Anak Berkebutuhan Khusus sendiri bisa dikelompokkan menjadi
Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat menetap (permanen) dan sementara (temporer).
Bersifat sementara (temporer) ketika Anak Berkebutuhan Khusus tersebut
disebabkan oleh faktor eksternal sehingga anak tersebut mengalami gangguan
emosi namun sementara. Sementara menurut Hurlock dalam (Illahi, 2013) Anak
Berkebutuhan Khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah ketika Anak
Berkebutuhan Khusus memiliki hambatan belajar yang disebabkan oleh kecacatan
atau bawaan sejak lahir .
Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus menurut Direktorat PLB guna
keperluan pendidikan inklusif dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a)
Tunanetra/ gangguan penglihatan
b)
Tunarungu / gangguan pendengaran
c) Tunadaksa
/ gangguan gerakan / kelainan anggota tubuh
d) Tunagrahita
/ keterbelakngan kemampuan intelektual
e)
Anak lamban belajar
f)
Anak berkesulitan belajar
g) Anak
berbakat (memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa)
h)
Tunalaras / kelainan tingkah laku dan sosial
i)
Anak dengan gangguan komunikasi
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran
Umum SMK Negeri 2 Malang
SMK Negeri 2 Malang merupakan salah satu sekolah kejuruan unggul di
Kota Malang. Lokasi SMK Negeri 2 Malang sendiri berada di Jalan Veteran dan
berdekatan dengan beberapa pusat lembaga pendidikan di tingkat Universitas. SMK
Negeri 2 Malang dalam pengembangannya mengalami perubahan nama beberapa kali
yang pada awalnya sekolah ini bernama SHD (Sekolah Hukum dan Djaksa) pada tahun
1952. Kemudian berganti menjadi SPPN (Sekolah Pembantu Panitera Negara). Pada
Tahun 1967 berubah lagi menjadi SPSA (Sekolah
Pekerjaan Sosial Atas),
dan pada
|
SMK Negeri 2 Malang sendiri sejauh ini telah memiliki beberapa jurusan
atau program keahlian. Beberapa program keahlian yang ada di SMK Negeri 2
Malang antara lain adalah jurusan Perawatan Sosial (PS), Usaha Perjalanan
Wisata (UPW), Akomodasi Pehotelan (AP), Jasa Boga (JB), Keperawatan (KPR),
serta program keahlian Teknik Komputer Jaringan (TKJ). Sejauh ini SMK Negeri 2
selalu kebanjiran pendaftar siswa baru karena SMK Negeri 2 Malang merupakan
salah satu sekolah favorit di Kota Malang. Sehingga jumlah siswa yang dimiliki
pun cukup banyak seperti yang ada di tabel berikut :
|
Tabel 2. Nama-nama Anak
Berkebutuhan Khusus SMK Negeri 2 Malang
Sumber : (smkn2malang.sch.id, 2014)
Sebagai pelaksana pelayanan pendidikan inklusif, tentunya menjadi tugas
para Guru Pendamping Khusus untuk melakukan evaluasi serta assessmen terhadap para Anak Berkebutuhan Khusus. Untuk itu perlu
pendataan terkait keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus sebagai bentuk dasar dari
pelayanan pendidikan inklusif. Berikut ini merupakan nama-nama peserta didik
berkebutuhan khusus SMK Negeri 2 Malang, seperti yang tertera pada tabel
berikut:
Sumber : Data Sekunder SMK Negeri 2 Malang
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di SMK Negeri 2 Malang
SMK Negeri 2 Malang menjadi salah satu sekolah tingkat atas di Kota
Malang yang mengawali pelaksanaan pendidikan inklusif. SMK Negeri 2 Malang
mulai melaksanakan pendidikan inklusif pada tahun 2011 berdasarkan instruksi
dari Dinas Pendidikan Kota Malang.
Awalnya, pada tahun pertama yaitu tahun 2011 SMK Negeri 2 Malang hanya
menerima 5 Anak Berkebutuhan Khusus, kemudian pada tahun kedua juga menerima 5
Anak Berkebutuhan Khusus, namun karena minat para orangtua juga semakin banyak,
sehingga pada tahun berikutnya SMK Negeri 2 Malang
menambah kuota
untuk penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus menjadi 10 orang. Jumlah Guru
Pendamping Khusus (GPK) yang memang menjadi salah satu aspek penting di dalam
pelaksanaan pendidikan inklusif, awalnya
hanya 2 orang. Namun seiring bertambahnya jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
yang diterima di SMK Negeri 2 Malang, jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) pun
juga bertambah menjadi 5 orang pengajar.
SMK Negeri 2 Malang telah
meluluskan
5 Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) yang merupakan ABK angkatan pertama di sekolah tersebut. Standar
kelulusan bagi ABK sendiri ditentukan oleh sekolah masing-masing, sehingga
ijazah yang diberikan untuk ABK merupakan ijazah yang berasal dari sekolah
tersebut. Untuk saat ini, jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMK Negeri 2
Malang berjumlah 25 orang, yang masing- masing ada di dalam jurusan Akomodasi
Perhotelan (AP) dan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) sesuai dengan kebutuhan yang
dimiliki oleh ABK. Untuk ABK yang Tuna Rungu, mereka lebih diarahkan untuk
masuk jurusan TKJ, karena mereka hanya kurang dalam hal bahasa dan selebihnya
mereka dianggap mampu mengikuti pelajaran.
Sedangkan ABK seperti Tuna Grahita dan Autis, mereka lebih diarahkan
untuk masuk ke jurusan Akomodasi Perhotelan. Hal tersebut dikarenakan mereka
cenderung sulit untuk berkomunikasi secara normal. Sehingga dengan dimasukannya
mereka ke jurusan Akomodasi Perhotelan, mereka akan lebih banyak berinteraksi
dengan pekerjaan mereka yang antara lain adalah house keeping, laundry, dan making bed.
Stigma Siswa Non Berkebutuhan Khusus pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Stigma mengacu pada hal yang sifatnya negatif yang merupakan pembeda
antara individu satu dengan lainnya. Goffman menciptakan istilah stigma untuk
menggambarkan label yang digunakan untuk merendahkan seseorang atau kelompok
tertentu. Stigma menunjuk pada orang-orang yang cacat sehingga tidak memperoleh
penerimaan sosial yang sepenuhnya. Dalam penelitian ini, stigma negatif
diberikan kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) karena dianggap berbeda dengan siswa non berkebutuhan khusus
lainnya.
Seperti yang dijelaskan Erving Goffman, bahwa masyarakat dianggap
sebagai rutinitas hubungan sosial yang mengantisipasi atribut diluar “natural”.
Goffman tertarik untuk melihat bagaimana suatu “virtual social identity” yang merupakan suatu identitas
seharusnya, dengan suatu “actual
identity” atau identitas sebenarnya. Adanya perbedaan dalam identitas
sosial maya dan identitas aktual maka akan terbentuk suatu stigma. Stigma
muncul dari adanya kesenjangan atau perbedaan antara identitas sosial maya dan
identitas aktual atau sebenarnya. Virtual
social identity di sini berupa
identitas yang diharapkan oleh siswa non
berkebutuhan khusus bahwa siswa non berkebutuhan khusus menginginkan sekolah
semua isinya normal saja. Namun actual
identity dalam hal ini bahwa ternyata mereka juga bersekolah bersama ABK
dengan segala perbedaan yang mereka miliki.
Sehingga, keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
dengan segala perbedaan yang mereka miliki juga menimbulkan stigma di kalangan
siswa non berkebutuhan khusus lainnya. Stigma tersebut muncul akibat dari
adanya perbedaan kemampuan yang disebabkan oleh kebutuhan khusus yang dimiliki
oleh ABK.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat ada tiga macam stigma yang diberikan
kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang memiliki kebutuhan khusus Slow Learner, Tuna Grahita, serta Autis
oleh siswa non berkebutuhan khusus yang kurang lebih sama, yaitu: pertama menghambat karena kemampuan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) berbeda dengan siswa non berkebutuhan khusus,
sehingga kemampuan ABK dalam menangkap materi pelajaran di kelas terkadang
lebih lambat daripada siswa non berkebutuhan khusus. Hal tersebut yang kemudian
menghambat proses belajar di kelas; Kedua,
ABK dianggap memiliki nilai yang
kurang bagus yang disebabkan kebutuhan yang mereka miliki tersebut. Daya
tangkap materi pelajaran yang kurang sempurna, dan terkadang lamban dalam
menerima pelajaran menjadikan siswa non berkebutuhan khusus memberi stigma
kepada ABK bahwa nilai mereka termasuk jelek; ketiga, dianggap kurang bisa bergaul karena kemampuan berkomunikasi
ABK yang kurang bagus. Khususnya bagi mereka yang Autis mereka lebih memilih
untuk fokus dengan apa yang
mereka lakukan. Bagi
ABK yang
memiliki
kebutuhan Autis, mereka kurang senang berinteraksi dengan orang lain.
Untuk lebih memudahkan, berikut adalah tabel yang menunjukkan stigma di
dalam lingkungan sekolah terhadap ABK Slow
Learner, Autis, serta Tuna Grahita:
Tabel 3. Stigma terhadap ABK (Slow Learner, Autis,
dan Tuna Grahita) dalam Lingkungan Sekolah
Tabel 4. Stigma terhadap ABK
(Tuna Rungu) dalam
|
Sumber: Data Peneliti, 2015
Kemudian juga terdapat stigma yang diberikan kepada ABK dengan
kebutuhan Tuna Rungu. Pada dasarnya stigma yang diberikan hampir sama namun
untuk Tuna Rungu tidak sebanyak seperti yang diberikan kepada ABK yang lain
karena pada dasarnya ABK Tuna Rungu hanya bermasalah dalam hal komunikasi saja.
Beberapa stigma yang diberikan kepada ABK Tuna Rungu yaitu: pertama, ABK Tuna Rungu dianggap
memiliki nilai kurang bagus. Hal tersebut bukan dikarenakan kemampuan kognitif
mereka yang kurang, namun karena ABK Tuna Rungu kebanyakan lebih antusias dalam
hal teknologi dan mengesampingkan pelajaran yang lain, hal tersebut yang
kemudian menyebabkan mereka dianggap tidak bisa memiliki nilai bagus.
Kedua, ABK Tuna Rungu dianggap kurang
bisa bergaul. ABK Tuna Rungu tentunya tidak bisa berkomunikasi seperti siswa
non berkebutuhan khusus lain, sehingga harus menggunakan bahasa isyarat.
Sedangkan siswa non berkebutuhan khusus tidak semua bisa menggunakan bahasa
isyarat, sehingga kesenjangan diantara keduanya tersebut yang menyebabkan ABK
Tuna Rungu susah bergaul. Untuk lebih memudahkan, berikut adalah tabel yang
menunjukkan stigma di dalam lingkungan sekolah terhadap ABK Tuna Rungu:
Sumber: Data Peneliti, 2015
|
Penerimaan Sosial Siswa Non Berkebutuhan Khusus pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Goffman menciptakan istilah stigma untuk menggambarkan label yang
digunakan untuk merendahkan seseorang atau kelompok tertentu. Aib (stigma)
menunjukkan pada orang-orang yang memiliki cacat sehingga tidak memperoleh penerimaan sosial
yang sepenuhnya (Goffman, 1963). Begitu juga yang terjadi pada Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) yang ada di SMK Negeri 2 Malang. Pelaksanaan
pendidikan inklusif yang menggabungkan antara Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
dan siswa non berkebutuhan khusus tentu akan menimbulkan respon terutama bagi
siswa non berkebutuhan khusus dengan adanya keberadaan ABK.
Kedekatan siswa non berkebutuhan khusus dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) hanya terjadi ketika di kelas saja saat jam
pelajaran. Meskipun TP mengaku pernah satu bangku dengan Anak Berkebutuhan
Khusus, namun setelah di luar jam pelajaran dia tidak pernah bermain bersama
Anak Berkebutuhan Khusus. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan
inklusif menjadi jembatan untuk bertemu serta bersosialisasi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) dengan siswa non berkebutuhan khusus lainnya. Sesuai dengan tujuan
pendidikan inklusif sendiri adalah adanya keterlibatan yang sebenarnya dari
tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh (Smith, 2006).
Keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak menjadi masalah bagi
siswa non berkebutuhan khusus. Siswa non berkebutuhan khusus awalnya memang
merasa terganggu, namun mereka menyadari bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
memang memerlukan bantuan sehingga dia merasa harus menolong. Jika di kelas
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) membutuhkan pertolongan, siswa non berkebutuhan
khusus juga bersedia menolong mereka. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh
Erving Goffman, bahwa ia memberi istilah “wise”
bagi orang-orang yang dekat dengan orang yang terstigma. “Wise” yang dimaksud Goffman dan muncul
dalam peristiwa ini yaitu orang-orang yang terhubung secara sosial dengan
individu yang terstigma. Mereka memberikan simpati serta dukungan kepada orang.
Memang pada dasarnya siswa non berkebutuhan khusus menerima keberadaan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan segala kebutuhan yang mereka miliki. Hal
tersebut terbukti dari bentuk kepedulian yang diberikan kepada ABK. Untuk ABK
Tuna Rungu yang hanya memiliki masalah dalam hal berkomunikasi, biasanya siswa
non berkebutuhan khusus membantu meminjami catatan pelajaran. Hal tersebut
karena ABK Tuna Rungu biasanya tidak dapat mengikuti guru yang sedang mendikte,
namun untuk pelajaran praktikum ABK Tuna Rungu mampu mengikuti dengan baik
karena memang mereka sangat antusias dengan teknologi sehingga tidak salah jika
mereka dimasukkan di program keahlian Teknik Komputer Jaringan.
Sedangkan untuk ABK dengan
kebutuhan Autis, Slow Learner, serta
Tuna Grahita rata-rata mereka mendapatkan
perlakuan yang
baik oleh teman-teman mereka terutama teman perempuan. Biasanya ketika
pembentukan kelompok belajar, mereka justru diajak oleh teman-teman mereka
untuk bergabung. Selain itu ketika praktikum mereka juga sering mendapatkan
bantukan dari teman- teman non berkebutuhan khusus. Sehingga keberadaan ABK ini
pada dasarnya dapat diterima oleh siswa non berkebutuhan khusus yang terbukti
dari bentuk kepedulian yang diberikan oleh siswa non berkebutuhan khusus
tersebut.
IV. KESIMPULAN
Stigma menunjuk pada orang-orang yang cacat sehingga tidak memperoleh
penerimaan sosial yang sepenuhnya. Sehingga keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) dalam proses pendidikan inklusif pada dasarnya dapat diterima oleh siswa
non berkebutuhan khusus meskipun belum seutuhnya. Hal tersebut terbukti dari
masih adanya bentuk praktik stigmatisasi yang dilakukan oleh siswa non
berkebutuhan khusus. Namun pada dasarnya, keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) dalam proses pendidikan inklusif di SMKN 2 Malang dapat diterima oleh siswa
non berkebutuhan khusus lainnya, hal tersebut terbukti dari bentuk-bentuk
kepedulian siswa non berkebutuhan khusus pada ABK ketika mengalami kesulitan
saat pelajaran. Selain itu kehadiran Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) juga
menjadi hiburan bagi siswa non berkebutuhan khusus karena sering memunculkan
kelucuan dari apa yang mereka lakukan
DAFTAR PUSTAKA.
Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada
Carrington, Suzzane. 2012. Teaching in Inclusive School Communities.
Australia
: John Willey & sons
Australia, Ltd
Creswell, John W. 2012. Research
Design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan Mixed. Terjemahan Achmad
Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goffman,
Erving. 1963. STIGMA (Notes on The
Management Spoiled Identity). London : Penguins Book
Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan
inklusif konsep &aplikasi. Jogjakarta : Ar-Ruzz media
Irmawati, Ratih. 2014. Implementasi Pendidikan Inklusif untuk
Memperoleh Pendidikan Bermutu bagi ABK (Studi pada SDN Sumbersari 1 Kota
Malang). Universitas Brawijaya : Fakultas Ilmu Administrasi
Kristiyanti, E. 2004. “Pendidikan Inklusi : harapan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus”. Jurnal perempuan, edisi 65, hal 91-99
Moleong,
Lexy J. 2010 . Metodologi Penelitian
Kualitatif (edisi revisi). Bandung : PT. Raja Rosdakarya
Nasution, s. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : PT.Bumi Aksara
Ramadhan, M. 2012. Ayo Belajar
Mandiri Pendidikan Ketrampilan&Kecakapan Hidup untuk Anak Berkebutuhan
Khusus. Jogjakarta. Javalitera
Ritzer, G. , Goodman, Douglas J. 2011. Teori Sosiologi. Bantul : Kreasi Wacana
Salim,
Agus. 2006. Teori & paradigm
penelitian sosial. Yogyakarta : Tiara wacana
Sapariadi, dkk. 1982. Mengapa anak berkelainan perlu mendapat pendidikan. Jakarta : PN
balai pustaka
Smith, J.
David. 2006. Inclussion, School for All
Student. Wadsworth Publishing Company
Stubbs,
S. (2002). Inclusive Education Where
There are Few Resource.Rev ed. Oslo : The Atlas Alliance.
Sugiyono.
2010. Metode Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sunanto, Juang. 2009. Implementasi
Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Bandung : Pusat Kajian dan Inovasi
Pendidikan – Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Tarmansyah . 2007. Inklusi
(Pendidikan untuk Semua). Jakarta : Depdiknas
Yin, Robert K. 2006. Studi
Kasus Desain dan Metode. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Sumber dari Internet :
Halomalang.com. 2012. Kota
malang Dicanangkan sebagai Kota pendidikan Inklusif. Malang . (diakses pada
hari rabu, 17 desember 2014)
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._
LUAR_BIASA/194808011974032-
ASTATI/JURNAL.pdf diakses
pada tanggal 026 januari 2015 pukl 21.36
http://karyailmiah.fip.um.ac.id/wp-
content/uploads/2014/05/PEMBELAJAR AN-INKLUSIF-BAGI-SISWA-
BERKEBUTUHAN-KHUSUS-DI-
SMKN-2-MALANG.pdf diakses pada
26 januari 2015 pukul 22.06
http://smkn2malang.sch.id diakses pada
tanggal 16 Mei 2015 pukul 08.12
http://IJDS.UB.ac.id diakses pada tanggal
11 Agustus 2015 pukul 20.22
http://repository.unib.ac.id diakses pada
tanggal 7 Agustus 2015 pukul 09.33
http://
repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 7 Agustus 2015 pukul 08.35
Sumber lain
1.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan
Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan Bakat Istimewa
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan
3.
Deklarasi Salamanca (UNESCO), 1994) oleh para menteri pendidikan di seluruh
dunia.
4.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional
5.
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
REVIEW JURNAL NASIONAL 1
Judul
|
Penerimaan
sosial dalam proses pendidikan inklusif (studi kasus pada proses pendidikan
inklusif di smk negeri 2 malang)
|
Tahun
|
2015
|
Penulis
|
Reza Dulisanti
Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya Malang
|
Reviewer
|
M. RIDOAN LUBIS (14003036)
|
Tanggal
|
28 November 2016
|
Tujuan Penelitian
|
untuk menjelaskan bagaimana proses penerimaan sosial
siswa non berkebutuhan khusus pada ABK dalam proses pendidikan inklusif
setelah munculnya stigma. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan teknik pengumpulan data melalui
observasi, dokumen, dan wawancara
|
Latar Belakang
|
dilatarbelakangi
oleh munculnya model pendidikan inklusif. Pendidikan Inklusif merupakan
sebuah bentuk pendidikan yang menggabungkan antara siswa non berkebutuhan
khusus dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam satu lingkungan sekolah
yang sama. Keberadaan ABK dengan segala perbedaan yang mereka miliki,
memunculkan adanya suatu stigma negatif pada ABK. Stigma tersebut juga
terbukti dengan adanya bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh siswa non
berkebutuhan khusus. Dari adanya stigma yang diberikan siswa non berkebutuhan
khusus kepada ABK tersebut kemudian memunculkan suatu bentuk penerimaan
sosial yang tidak seutuhnya.
|
Metode Penelitian
|
Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi
kasus dan teknik pengumpulan data melalui observasi, dokumen, dan wawancara.
|
Pembahasan
|
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya model
pendidikan inklusif. Pendidikan Inklusif merupakan sebuah bentuk pendidikan
yang menggabungkan antara siswa non berkebutuhan khusus dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam satu lingkungan sekolah yang sama. Keberadaan
ABK dengan segala perbedaan yang mereka miliki, memunculkan adanya suatu
stigma negatif pada ABK. Stigma tersebut juga terbukti dengan adanya bentuk
diskriminasi yang dilakukan oleh siswa non berkebutuhan khusus. Dari adanya
stigma yang diberikan siswa non berkebutuhan khusus kepada ABK tersebut
kemudian memunculkan suatu bentuk penerimaan sosial yang tidak seutuhnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses
penerimaan sosial siswa non berkebutuhan khusus pada ABK dalam proses
pendidikan inklusif setelah munculnya stigma. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan teknik
pengumpulan data melalui observasi, dokumen, dan wawancara.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa
stigma yang diberikan kepada ABK adalah stigma menghambat, memiliki nilai
jelek, serta kurang bisa bergaul. Selain itu, juga terjadi diskriminasi yang
dilakukan oleh siswa non- berkebutuhan khusus yang tanpa mereka sadari hal
itu adalah bentuk soft- bullying.Meskipun terjadi stigma, namun pada dasarnya
siswa non berkebutuhan khusus menerima keberadaan ABK di lingkungan
sekolahnya meskipun tidak sepenuhnya. Hal tersebut terbukti dari adanya
bentuk kepedulian seperti membantu jika ABK mengalami kesulitan, serta
meminjami catatan yang dimiliki oleh siswa non berkebutuhan khusus kepada ABK
meskipun telah terjadi stigmatisasi.
|
Kesimpulan
|
Stigma menunjuk pada orang-orang yang cacat sehingga
tidak memperoleh penerimaan sosial yang sepenuhnya. Sehingga keberadaan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam proses pendidikan inklusif pada dasarnya
dapat diterima oleh siswa non berkebutuhan khusus meskipun belum seutuhnya.
Hal tersebut terbukti dari masih adanya bentuk praktik stigmatisasi yang
dilakukan oleh siswa non berkebutuhan khusus. Namun pada dasarnya, keberadaan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam proses pendidikan inklusif di SMKN 2
Malang dapat diterima oleh siswa non berkebutuhan khusus lainnya, hal
tersebut terbukti dari bentuk-bentuk kepedulian siswa non berkebutuhan khusus
pada ABK ketika mengalami kesulitan saat pelajaran. Selain itu kehadiran Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) juga menjadi hiburan bagi siswa non berkebutuhan
khusus karena sering memunculkan kelucuan dari apa yang mereka lakukan
|
Rujukan
|
Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada
Carrington, Suzzane. 2012. Teaching in Inclusive School
Communities. Australia
: John Willey & sons
Australia, Ltd
Creswell, John W. 2012. Research
Design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan Mixed. Terjemahan Achmad
Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goffman, Erving. 1963. STIGMA
(Notes on The Management Spoiled Identity). London : Penguins Book
Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan
inklusif konsep &aplikasi. Jogjakarta : Ar-Ruzz media
Irmawati, Ratih. 2014. Implementasi Pendidikan Inklusif untuk
Memperoleh Pendidikan Bermutu bagi ABK (Studi pada SDN Sumbersari 1 Kota
Malang). Universitas Brawijaya : Fakultas Ilmu Administrasi
Kristiyanti, E. 2004. “Pendidikan Inklusi : harapan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus”. Jurnal perempuan, edisi 65, hal 91-99
Moleong, Lexy J. 2010 . Metodologi
Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung : PT. Raja Rosdakarya
Nasution, s. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : PT.Bumi Aksara
Ramadhan, M. 2012. Ayo
Belajar Mandiri Pendidikan Ketrampilan&Kecakapan Hidup untuk Anak
Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta. Javalitera
Ritzer, G. , Goodman, Douglas J. 2011.
Teori Sosiologi. Bantul : Kreasi Wacana
Salim, Agus. 2006. Teori
& paradigm penelitian sosial. Yogyakarta : Tiara wacana
Sapariadi, dkk. 1982. Mengapa anak berkelainan perlu mendapat pendidikan. Jakarta : PN
balai pustaka
Smith, J.
David. 2006. Inclussion, School for All
Student. Wadsworth Publishing Company
Stubbs, S. (2002). Inclusive
Education Where There are Few Resource.Rev ed. Oslo : The Atlas Alliance.
Sugiyono. 2010. Metode
Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sunanto, Juang. 2009. Implementasi
Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Bandung : Pusat Kajian dan Inovasi
Pendidikan – Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Tarmansyah . 2007. Inklusi
(Pendidikan untuk Semua). Jakarta : Depdiknas
Yin, Robert K. 2006. Studi
Kasus Desain dan Metode. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Sumber dari Internet :
Halomalang.com. 2012. Kota
malang Dicanangkan sebagai Kota pendidikan Inklusif. Malang . (diakses
pada hari rabu, 17 desember 2014)
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._
LUAR_BIASA/194808011974032-
ASTATI/JURNAL.pdf diakses pada tanggal 026 januari 2015 pukl 21.36
http://karyailmiah.fip.um.ac.id/wp-
content/uploads/2014/05/PEMBELAJAR AN-INKLUSIF-BAGI-SISWA-
BERKEBUTUHAN-KHUSUS-DI-
SMKN-2-MALANG.pdf diakses pada
26 januari 2015 pukul 22.06
http://smkn2malang.sch.id diakses pada
tanggal 16 Mei 2015 pukul 08.12
http://IJDS.UB.ac.id diakses pada
tanggal 11 Agustus 2015 pukul 20.22
http://repository.unib.ac.id
diakses pada tanggal 7 Agustus 2015 pukul 09.33
http://
repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 7 Agustus 2015 pukul 08.35
Sumber lain
6.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan
Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan Bakat Istimewa
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010
tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan
8.
Deklarasi Salamanca (UNESCO), 1994) oleh para menteri pendidikan di seluruh
dunia.
9.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional
|
TERJEMAHAN ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya model
pendidikan inklusif. Pendidikan Inklusif merupakan sebuah bentuk pendidikan
yang menggabungkan antara siswa non berkebutuhan khusus dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam satu lingkungan sekolah yang sama. Keberadaan
ABK dengan segala perbedaan yang mereka miliki, memunculkan adanya suatu stigma
negatif pada ABK. Stigma tersebut juga terbukti dengan adanya bentuk
diskriminasi yang dilakukan oleh siswa non berkebutuhan khusus. Dari adanya
stigma yang diberikan siswa non berkebutuhan khusus kepada ABK tersebut
kemudian memunculkan suatu bentuk penerimaan sosial yang tidak seutuhnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses penerimaan
sosial siswa non berkebutuhan khusus pada ABK dalam proses pendidikan inklusif
setelah munculnya stigma. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan teknik pengumpulan data melalui
observasi, dokumen, dan wawancara.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa stigma yang
diberikan kepada ABK adalah stigma menghambat, memiliki nilai jelek, serta
kurang bisa bergaul. Selain itu, juga terjadi diskriminasi yang dilakukan oleh
siswa non- berkebutuhan khusus yang tanpa mereka sadari hal itu adalah bentuk
soft- bullying.Meskipun terjadi stigma, namun pada dasarnya siswa non
berkebutuhan khusus menerima keberadaan ABK di lingkungan sekolahnya meskipun
tidak sepenuhnya. Hal tersebut terbukti dari adanya bentuk kepedulian seperti membantu
jika ABK mengalami kesulitan, serta meminjami catatan yang dimiliki oleh siswa
non berkebutuhan khusus kepada ABK meskipun telah terjadi stigmatisasi
URAIKAN PENDAPAT ANDA
Saya setuju dan
sependapat dengan penulis tentang penerimaan
siswa non berkebutuhan khusus terhadap ABK yang berada dalam satu sekolah
tersebut tentunya hasil penilitian adalah stigma yang menghambat seperti nilai
mereka yang jelek serta kurangnya bisa bergaull ABK tresebut.
Menurut
saya stigma pemikiran dari siswa normal terhadap ABK merupakan stigma yang
bersifat sementara dimana mereka masih canggung berada dalam satu lingkungan
pembelajaran. Seharusnya disini peran kita sebagai guru dalam mencegah tindakan
atau hal tersebut dapat terjadi , baiknya kita beri pengetahuan terlebih dulu
terhadap keterbatasan temaan-teman mereka yang memiliki hambatan tersebut
sehingga nantinya stigma-stigma terhadap ABK dapat terhindarkan , tapi sebagian
besar banyak anak yang memiliki kepedulian terhadap ABK dalam membantu dalam
hal keterbatasannya .
Hal
yang harus kita lakukan adalah buang jauh-jauh stigma pemikiran yang ada
terhadap anak normal kepada anak yang memiliki kebutuhan khusus dimata mereka,
mereka adalah teman-teman yang memiliki kecacatan tapi baiknya anak normal
tersbut dapat mau membantu temannya yang memiliki kesulitan dalam berbagai
aspek dan nantinya rasa kekeluargaan yang tumbuh dapat memperkuat stigma
bagaimana semua anak itu memiliki hak yang sama seluruhnya di dunia ini tanpa
perbedaan sedikit pun.
Komentar
Posting Komentar